PENGETAHUAN DASAR PENDAKIAN GUNUNG
Mendaki gunung seperti
kegiatan petualangan lainnya merupakan sebuah aktivitas olahraga berat.
Kegiatan itu memerlukan kondisi kebugaran pendaki yang prima. Bedanya dengan
olahraga yang lain, mendaki gunung dilakukan di tengah alam terbuka yang liar,
sebuah lingkungan yang sesungguhnya bukan habitat manusia, apalagi anak kota.
Pendaki
yang baik sadar adanya bahaya yang bakal menghadang dalam aktivitasnya yang
diistilahkan dengan bahaya obyektif dan bahaya subyektif. Bahaya obyektif
adalah bahaya yang datang dari sifat-sifat alam itu sendiri. Misalnya saja
gunung memiliki suhu udara yang lebih dingin ditambah angin yang membekukan,
adanya hujan tanpa tempat berteduh, kecuraman permukaan yang dapat menyebabkan
orang tergelincir sekaligus berisiko jatuhnya batu-batuan, dan malam yang gelap
pekat. Sifat bahaya tersebut tidak dapat diubah manusia.
Hanya saja, sering kali pendaki pemula menganggap mendaki gunung
sebagai rekreasi biasa. Apalagi untuk gunung-gunung populer dan “mudah” didaki,
seperti Gede, Pangrango atau Salak. Akibatnya, mereka lalai dengan persiapan
fisik maupun perlengkapan pendakian. Tidak jarang di antara tubuh mereka hanya
berlapiskan kaus oblong dengan bekal biskuit atau air ala kadarnya.
Meski
tidak dapat diubah, sebenarnya pendaki dapat mengurangi dampak negatifnya.
Misalnya dengan membawa baju hangat dan jaket tebal untuk melindungi diri dari
dinginnya udara. Membawa tenda untuk melindungi diri dari hujan bila berkemah,
membawa lampu senter, dan sebagainya.
Sementara
bahaya subyektif datangnya dari diri orang itu sendiri, yaitu seberapa siap dia
dapat mendaki gunung. Apakah dia cukup sehat, cukup kuat, pengetahuannya
tentang peta kompas memadai (karena tidak ada rambu-rambu lalu lintas di
gunung), dan sebagainya.
Sebagai gambaran, Badan SAR Nasional mendata bahwa dari bulan Januari
1998 sampai dengan April 2001 tercatat 47 korban pendakian gunung di Indonesia
yang terdiri dari 10 orang meninggal, 8 orang hilang, 29 orang selamat, 2 orang
luka berat dan 1 orang luka ringan, dari seluruh pendakian yang tercatat (Badan
SAR Nasional, 2001)
Data
lain, sejak tahun 1969 sampai 2001, gunung Gede dan Pangrango di Jawa Barat
telah memakan korban jiwa sebanyak 34 orang. Selanjutnya, dari 4000 orang yang
berusaha mendaki puncak Everest sebagai puncak gunung tertinggi di dunia, hanya
400 orang yang berhasil mencapai puncak dan sekitar 100 orang meninggal.
Rata-rata kecelakaan yang terjadi pada pendakian dibawah 8000 m telah tercatat
sebanyak 25% pada setiap periode pendakian.
Kedua
bahaya itu dapat jauh dikurangi dengan persiapan. Persiapan umum yang harus
dimiliki seorang pendaki sebelum mulai naik gunung antara lain:
- Membawa alat navigasi berupa peta lokasi pendakian, peta, altimeter [Alat pengukur ketinggian suatu tempat dari permukaan laut], atau kompas. Untuk itu, seorang pendaki harus paham bagaimana membaca peta dan melakukan orientasi. Jangan sekali-sekali mendaki bila dalam rombongan tidak ada yang berpengalaman mendaki dan berpengetahuan mendalam tentang navigasi.
- Pastikan kondisi tubuh sehat dan kuat. Berolahragalah seperti lari atau berenang secara rutin sebelum mendaki.
- Bawalah peralatan pendakian yang sesuai. Misalnya jaket anti air atau ponco, pisahkan pakaian untuk berkemah yang selalu harus kering dengan baju perjalanan, sepatu karet atau boot (jangan bersendal), senter dan baterai secukupnya, tenda, kantung tidur, matras.
- Hitunglah lama perjalanan untuk menyesuaikan kebutuhan logistik. Berapa banyak harus membawa beras, bahan bakar, lauk pauk, dan piring serta gelas. Bawalah wadah air yang harus selalu terisi sepanjang perjalanan.
- Bawalah peralatan medis, seperti obat merah, perban, dan obat-obat khusus bagi penderita penyakit tertentu.
- Jangan malu untuk belajar dan berdiskusi dengan kelompok pencinta alam yang kini telah tersebar di sekolah menengah atau universitas-universitas.
- Ukurlah kemampuan diri. Bila tidak sanggup meneruskan perjalanan, jangan ragu untuk kembali pulang.
Memang,
mendaki gunung memiliki unsur petualangan. Petualangan adalah sebagai satu
bentuk pikiran yang mulai dengan perasaan tidak pasti mengenai hasil perjalanan
dan selalu berakhir dengan perasaan puas karena suksesnya perjalanan tersebut.
Perasaan yang muncul saat bertualang adalah rasa takut menghadapi bahaya secara
fisik atau psikologis. Tanpa adanya rasa takut maka tidak ada petualangan
karena tidak ada pula tantangan.
Risiko
mendaki gunung yang tinggi, tidak menghalangi para pendaki untuk tetap
melanjutan pendakian, karena Zuckerma menyatakan bahwa para pendaki gunung
memiliki kecenderungan sensation seeking [pemburuan sensasi] tinggi. Para
sensation seeker menganggap dan menerima risiko sebagai nilai atau harga dari
sesuatu yang didapatkan dari sensasi atau pengalaman itu sendiri.
Pengalaman-pengalaman yang menyenangkan maupun kurang menyenangkan tersebut
membentuk self-esteem [kebanggaan /kepercayaan diri].
Pengalaman-pengalaman
ini selanjutnya menimbulkan perasaan individu tentang dirinya, baik perasaan
positif maupun perasaan negatif. Perjalanan pendakian yang dilakukan oleh para
pendaki menghasilkan pengalaman, yaitu pengalaman keberhasilan dan sukses
mendaki gunung, atau gagal mendaki gunung. Kesuksesan yang merupakan faktor penunjang
tinggi rendahnya self-esteem, merupakan bagian dari pengalaman para pendaki
dalam mendaki gunung.
Fenomena
yang terjadi adalah apakah mendaki gunung bagi para pendaki merupakan sensation
seeking untuk meningkatkan self-esteem mereka? Selanjutnya, sensation seeking
bagi para pendaki gunung kemungkinan memiliki hubungan dengan self-esteem
pendaki tersebut. Karena pengalaman yang dialami para pendaki dalam pendakian
dapat berupa keberhasilan maupun kegagalan.
Persiapan mendaki gunung
Persiapan
umum untuk mendaki gunung antara lain kesiapan mental, fisik, etika,
pengetahuan dan ketrampilan.
- Kesiapan mental.
Mental
amat berpengaruh, karena jika mentalnya sedang fit, maka fisik pun akan fit,
tetapi bisa saja terjadi sebaliknya.
- Kesiapan fisik.
Beberapa latihan
fisik yang perlu kita lakukan, misalnya : Stretching /perenggangan [sebelum dan
sesudah melakukan aktifitas olahraga, lakukanlah perenggangan, agar tubuh kita
dapat terlatih kelenturannya]. Jogging (lari pelan-pelan) Lama waktu dan jarak
sesuai dengan kemampuan kita, tetapi waktu, jarak dan kecepatan selalu kita
tambah dari waktu sebelumnya. Latihan lainnya bisa saja sit-up, push-up dan
pull-up Lakukan sesuai kemampuan kita dan tambahlah porsinya melebihi porsi
sebelumnya.
- Kesiapan administrasi.
Mempersiapkan
seluruh prosedur yang dibutuhkan untuk perijinan memasuki kawasan yang akan
dituju.
- Kesiapan pengetahuan dan ketrampilan.
Pengetahuan
untuk dapat hidup di alam bebas. Kemampuan minimal yang perlu bagi pendaki
adalah pengetahuan tentang navigasi darat, survival serta EMC [emergency
medical care] praktis.
Perencanan
pendakian.
Hal
pertama yang ahrus dilakukan adalah mencari informasi. Untuk mendapatkan
data-data kita dapat memperoleh dari literatur- literatur yang berupa buku-buku
atau artikel-artikel yang kita butuhkan atau dari orang-orang yang pernah
melakukan pendakian pada objek yang akan kita tuju. Tidak salah juga bila
meminta informasi dari penduduk setempat atau siapa saja yang mengerti tentang
gambaran medan lokasi yang akan kita daki.
Selanjutnya
buatlah ROP (Rencana Operasi Perjalanan). Buatlah perencanaan secara detail dan
rinci, yang berisi tentang daerah mana yang dituju, berapa lama kegiatan
berlangsung, perlengkapan apa saja yang dibutuhkan, makanan yang perlu dibawa,
perkiraan biaya perjalanan, bagaimana mencapai daerah tersebut, serta prosedur
pengurusan ijin mendaki di daerah tersebut. Lalu buatlah ROP secara teliti dan
sedetail mungkin, mulai dari rincian waktu sebelum kegiatan sampai dengan
setelah kegiatan. Aturlah pembagian job dengan anggota pendaki yang lain (satu
kelompok), tentukan kapan waktu makan, kapan harus istirahat, dan sebagainya.
Intinya
dalam perencanaan pendakian, hendaknya memperhatikan :
■ Mengenali kemampuan diri dalam tim dalam menghadapi medan.
■ Mempelajari medan yang akan ditempuh.
■ Teliti rencana pendakian dan rute yang akan ditempuh secermat mungkin.
■ Pikirkan waktu yang digunakan dalam pendakian.
■ Periksa segala perlengkapan yang akan dibawa.
■ Mengenali kemampuan diri dalam tim dalam menghadapi medan.
■ Mempelajari medan yang akan ditempuh.
■ Teliti rencana pendakian dan rute yang akan ditempuh secermat mungkin.
■ Pikirkan waktu yang digunakan dalam pendakian.
■ Periksa segala perlengkapan yang akan dibawa.
Perlengkapan
dasar perjalanan
■ Perlengkapan jalan : sepatu, kaos kaki, celana, ikat pinggang, baju, topi, jas hujan, dll.
■ Perlengkapan tidur : sleeping bag, tenda, matras dll.
■ Perlengkapan masak dan makan: kompor, sendok, makanan, korek dll.
■ Perlengkapan pribadi : jarum , benang, obat pribadi, sikat, toilet paper / tissu, dll.
■ Ransel / carrier.
■ Perlengkapan jalan : sepatu, kaos kaki, celana, ikat pinggang, baju, topi, jas hujan, dll.
■ Perlengkapan tidur : sleeping bag, tenda, matras dll.
■ Perlengkapan masak dan makan: kompor, sendok, makanan, korek dll.
■ Perlengkapan pribadi : jarum , benang, obat pribadi, sikat, toilet paper / tissu, dll.
■ Ransel / carrier.
Perlengkapan
pembantu
■ Kompas, senter, pisau pinggang, golok tebas, Obat-obatan.
■ Peta, busur derajat, douglass protector, pengaris, pensil dll.
■ Alat komunikasi (Handy talky), survival kit, GPS [kalo ada]
■ Jam tangan.
■ Kompas, senter, pisau pinggang, golok tebas, Obat-obatan.
■ Peta, busur derajat, douglass protector, pengaris, pensil dll.
■ Alat komunikasi (Handy talky), survival kit, GPS [kalo ada]
■ Jam tangan.
Packing
atau menyusun perlengkapan kedalam ransel.
- Kelompokkan barang barang sesuai dengan jenis jenisnya.
- Masukkan dalam kantong plastik.
- Letakkan barang barang yang ringan dan jarang penggunananya (mis : Perlengkapan tidur) pada yang paling dalam.
- Barang barang yang sering digunakan dan vital letakkan sedekat mungkin dengan tubuh dan mudah diambil.
- Tempatkan barang barang yang lebih berat setinggi dan sedekat mungkin dengan badan / punggung.
- Buat Checklist barang barang tersebut.
Mengenal Jenis Gunung dan Grade Pendakian
Pada
garis besar gunung terbagi menjadi 2, yaitu gunung berapi/aktif dan tidak
aktif. Berdasar bentuknya dibagi menjadi :
- Gunung berapi perisai (Gunung berapi lava) == seperti perisai
- Gunung berapi strato
- Gunung berapi maar == Gunung berapi yang meletus sekali dan segala aktivitas vulkanisme terhenti, yang tinggal hanya kawahnya saja.
Macam dan
tingkat pendakian gunung macam pendakian, yaitu pendakian gunung bersalju (es)
dan gunung batu. Keduanya mambutuhkan persiapan dan perlengkapan yang matang.
Menurut Club “Mountaineers”, Seatle Washington, dasar pembagian tingkat
pendakian ada dua cara.
1.
Berdasar penggunaan alat teknis yang dipakai ( class)
- class 1 ; lintas alam tanpa bantuan tangan
- class 2 ; dibutuhkan bantuan tangan
- class 3 ; pendakian yang mudah memerlukan kaki dan tangan dalam mendaki, tali mungkin dibutuhkan oleh pemula
- class 4 ; pendakian memerlukan tali pengaman
- class 5 ; dibutuhkan tali dan pengaman peralatan lain seperti : piton, runner, chocks dll
- class 6 ; mandaki dengan tali dengan peralatan bantuan sepenuhnya berpijak diatas paku tebing, memenjat rantai sling atau mengunakan stirupss
Pendakian
claass 4 masuk dalam katagori scrembling [Mendaki dengan cara mempergunakan
badan sebagai keseimbangan serta tangan untuk berpegangan dengan medan yang
miring sampai 45 derajat] dan class 5 – 6 sudah dapat dikatagorikan sebagai
climbing [panjat]. Dimana class 5 merupakan free-climbing [Pemanjatan dengan
tanpa menggunakan alat tehnis untuk menambah ketinggian, alat hanya sebagai
pengaman saja ] dan class 6 adalah artificial climbing [Pemanjatan dengan
menggunakan alat tehnis sebagai pembantu menambah ketinggian, misalnya dipijak
atau disentak dan dipegang ]. Apa bila dilakukan di gunung batu / cadas disebut
rock climbing dan bila dilakukan di gunung es disebut dengan snow and ice
climbing .
Ulasan
mengenai hal ini dibahas dalam materi tersendiri.
2.
Berdasar lama waktu akibat sukarnya pendakian dalam medan pendakian (grade)
- grade I, bagian yang sukar dapat ditempuh dalam beberapa jam
- grade II, bagian yang sukar ditempuh dalam setengah hari
- grade III, bagian yang sukar ditempuh dalam sehari penuh
- grade IV, bagian yang sukar ditempuh dalam sehari penuh dan memerlukan bantuan lereng-lereng sempit untuk bisa naik
- grade V, bagian yang sukar ditempuh dalam waktu 1,5-2,5 hari
- grade VI, bagian yang sukar ditempuh dalam waktu 2 hari atau lebih dan dengan banyak sekali kesulitan
Ulasan
mengenai hal ini dibahas dalam materi panjat tebing.
3.
Berdasarkan tingkat kemanan pemanjat dari kemampuan alat yang digunakan
- A1 ;aman sekali, peralatan yang dipasang dan digunakan dapat diandalkan untuk menjaga keselamatan pendaki
- A2 ;aman, jikapun terjadi maslah, alat masih dapat diandalkan untuk mencegah akibat yang lebih fatal [misalnya jatuh tidak sampai kedasar]
- A3 ;penggunan alat pengaman cukup aman tetapi tidak dapat diandalkan untuk menjaga resiko jatuh, kecuali dengan pemasngan yang sangat teliti dan fall-faktor yang tidak terlal;u berbeban tinggi. Bila fall faktor tinggi, maka alat-alat akan copot dan pendaki bisa menerima akibat fatal
- A4 ;pengaman yang digunakan tidak dapat diharapkan untuk dapat menahan beban jatuh, cenderung hanya sebagai pengaman psykologis untuk menguatkan mental pendaki
4. Berdasarkan tingkat kesulitan [difficult] medan pendakian
Tingkatan
pedakian dengan dasar perhitungan ini bisa disebut juga dengan Yossemite
Decimal System [YDS]. Pang-katagorian berasal dari USA dan saat ini banyak di
gunakan untuk menentukan grade kesulitan panjat tebing. Oleh karena itu YDS
dimulai dengan grade 5 dan seterusnya. Pengkatagorian demikian biasanya
digunakan untuk jenis pendakian free-climbing atau free-soloing [Memanjat
sendiri tanpa alat bantu dan pengaman apapun, biasanya pada jalur pendek]
Anehnya
YDS sendiri menyalahi kaidah matematis penghitungan decimal, dimana misalnya
suatu jalur mempunyai ketinggian 5,9 [lima point sembilan] lalu grade
selanjutnya menjadi 5.10 [lima point sepuluh]. Peng-angka-an ini menjadi “aneh”
akibat grade 5.9 lebih rendah dibanding dengan 5.10, padahal dalam matematika
sebaliknya.
YDS
sendiri diawali dengan grade 5.8 atau 5.9, selanjutnya 5.10, 5.11, 5.12, 5.13
dan 5.14. Sampai saat ini tidak ada grade melebihi 5.14.
Perkembangan
keanehan peng-angka-an decimal ini menurut beberapa diskusi pegiatan pendakian
dan panjat tebing akibat keselahan memprediksikan kemampuan pendakian pada saat
system YDS dipublikasikan. Dimana pada saat itu diperkirakan kemampuan
pendakian / panjat hanya sampai grade 5.9. Padahal dalam kemudian berkembangan
kemampuan pendakian / pemanjatan yang lebih mutakhir dan luar bisa.
Bahkan
saking sulitnya menentukan dengan hanya angka-angka decimal yang terbatas,
seiring dengan banyaknya jalur pendakian/pemanjatan yang dibuat oleh kalangan
pemanjat, maka grade decimalpun ditambahkan dibelangkannya dengan alfhabet.
Contoh;
5.12a, 5.13 d atau 5.14 c
Memang
sampai saat sekarang barangkali hanya ada beberapa jalur yang dibuat manusia
dengan grade 5.14, itupun terbatas pada jalur-jalur pendek.
Secara umum
grading dengan YDS dapat dijelaskan sebagai berikut :
- 5.8 ; jalur yang ditempuh mudah, grip [pegangan] sangat bisa digunakan oleh bagian tubuh yang ada untuk menambah ketinggian
- 5.9 ; jalur yang ditempuh dengan metode 3 bertahan 1 mencari
- 5.10 ; jalur yang ditempuh dengan metode 3 bertahan 1 mencari, hanya saja perlu keseimbangan [balance] yang baik
- 5.11 ; dapat bertahan pada 2 atau 3 grip dengan satu diantaranya sangat minim dan perlu keseimbangan. Jalur hang hampir bisa dipastikan memiliki grade demikian.
- 5.12 ; terdapat 2 dari 2 kaki dan 2 tangan yang dapat digunakan untuk menambah ketinggian. Dengan kondisi grip yang kecil di satu bagiannya atau paling tidak sama
- 5.13 ; hanya 1 dari diantara 2 kaki dan 2 tangan yang dapat digunakan untuk menambah ketinggian, itupun dengan grip yang sangat minim.
- 5.14 ; “mulus seperti kaca”, tidak mungkin terpikirkan untuk dapat dibuat jalur pendakian/pemanjatan
Makanan (logistik).
Makanan
yang dibawa seharusnya dapat memenuhi kebutuhan energi pendaki, selama
pendakian seserorang membutuhkan sitar 5.000 kalori dan 100 gram protein,
kalori dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi nasi. Namun ada baiknya hanya memakan
nasi satu kali sehari di kala malam (saat berkemah) alasayanya beras realtif
berat dan memerluakan waktu yang lama untu memasak serta menghabiskan banyak
bahan bakar. Fungsi beras dapat diganti dengan roti, biskuit, coklat, dan
hevermit.
Hal yang
perlu diperjatikan hindari mengkonsumsi makanan yang harus dimasak lebih dahulu
selama mendaki, karena hal ini hanya akan merepotkan dan menghabiskan waktu
perjalanan. Pilihlah makanan praktis seperti coklat, roti, agar-agar,
buah-buahan, dapat juga dibuat mixfood yang terdiri atas kacang, coklat, biskuit
dan kismis.
Umumnya
makanan yang paling praktis dibawa adalah makanan instan yang memiliki kemasan,
buanglah kemasan karton sebelum dimasukan dalam ransel dengan demikian berat
ransel dapat berkurang dan makanan yang dibawapun tidak banyak memakan tempat didalam
ransel.
Peralatan
lain
Selain
peralatan dan sejumlah perlengkapan, jangan lupa membawa perlengkapan kecil
yang terdanag dirasa sepele, namun amat penting. Perlengkapan itu berupa
obat-obatan seperti pelester, obat merah, tisu basah dan kering, senter,
benang, jarum jahit, jam dan alat tulis. Peralatan itu terkandang dibutuhkan
dalam keadaan darurat atau menjaga tubuh tetap bersih.
Hal
terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah jangan lupa membawa tas / kantong
plastik, tas plastik tersebut dibutuhkan untuk menaruh barang-barang yang kotor
dan basah sebelum dicuci dan tas plastik juga berfungsi untuk membawa kembali
sampah-sampah pendakian, sampah-sampah sisa makanan atau berkemah, janganlah
dibuang begitu saja di alam terbuka. Selain megotori, membuang sampah dapat
menyulitkan usaha pencarian dan pertolongan bagi pendaki yang tersesat atau
mengalami kecelakaan, kerap kali usaha pencarian oarang tersesat terbantu
dengan petunjuk dari barang-barang yang tercecer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar