Sejarah Singkat PT Freeport Indonesia
Freeport McMoRan Copper and Gold pada awalnya merupakan
sebuah perusahaan kecil yang berasal dari Amerika Serikat yang memiliki nama Freeport
Sulphur. Freeport McMoRan didirikan pada tahun 1981 melalui merger
antara Freeport Sulphur, yang mendirikan PT Freeport Indonesia dan McMoRan Oil
and Gas Company. Perusahaan minyak ini didirikan oleh Jim Bob Moffet yang
menjadi CEO Feeport McMoRan. Sejak menemukan deposit emas terbesar dan tembaga
terbesar nomor tiga di dunia yang terletak di Papua Barat, perusahaan ini
berubah menjadi penambang emas raksasa skala dunia. Total asset yang dimiliki
oleh Freeport hingga akhir tahun 2005 mencapai 3.3 miliar US dollar.
Aktivitas pertambangan Freeport di Papua yang dimulai sejak
tahun 1967 hingga saat ini talah berlangsung selama 42 tahun. Selama ini,
kegiatan bisnis dan ekonomi Freeport di Papua, telah mencetak keuntungan
finansial yang sangat besar bagi perusahaan asing tersebut, namun belum
memberikan manfaat optimal bagi negara, Papua dan masyarakat lokal disekitar
wilayah pertambangan.
Penandatanganan Kontrak Karya (KK) I pertambangan antara
pemerintah Indonesia dengan Freeport pada 1967, menjadi landasan bagi
perusahaan ini mulai melakukan aktivitas pertambangan. Tak hanya itu, KK I ini
juga menjadi dasar penyusunan UU Pertambangan No.11 Tahun 1967 yang disahkan
pada Desember 1967 atau delapan bulan berselang setelah penandatanganan KK I.
Pada Maret 1973, Freeport memulai pertambangan terbuka di Etsberg, kawasan yang
selesai ditambang pada tahun 1980-an dan menyisakan lubang sedalam 360 meter.
Pada
tahun 1988, Freeport mulai mengeruk cadangan raksasa lainnya, Grasberg, yang
masih berlangsung hingga saat ini. Dari eksploitasi kedua wilayah ini, sekitar
7.3 juta ton tembaga dan 724.7 juta ton emas telah dikeruk. Pada Juli 2005,
lubang tambang Grasberg telah mencapai diameter 2.4 kilometer pada daerah
seluas 499 hektar dengan kedalaman 800 m2.
Aktivitas Freeport yang berlangsung dalam kurun waktu lama
ini telah menimbulkan berbagai masalah, terutama dalam hal penerimaan negara
yang tidak optimal, peran negara/ BUMN dan BUMD untuk ikut mengelola tambang
yang sangat minim dan dampak lingkungan yang sangat signifikan, berupa rusaknya
bentang alam pegunungan Grasberg dan Ertsberg. Kerusakan lingkungan telah
mengubah bentang alam seluas 166 km2 di daerah aliran sungai Ajkwa.
Dampak lingkungan
Pertambangan Freeport
Limbah
Batuan (Waste Rock)
Hingga tahun 2005, setidaknya sekitar 2.5 milyar ton limbah
batuan Freeport dibuang ke alam. Hal ini mengakibatkan turunnya daya dukung
lingkungan sekitar pertambangan, terbukti longsor berulang kali terjadi
dikawasan tersebut. Bahkan salah satu anggota Panja DPR RI untuk kasus Freeport
menemukan fakta bahwa kecelakaan longsor akibat limbah batuan terjadi rutin
setiap tiga tahunan. Batuan limbah ini telah menimbun danau Wanagon. Sejumlah
danau berwarna merah muda, merah dan jingga dikawasan hulu telah hilang, padang
rumput Cartstenz juga didominasi oleh gundukan limbah batuan lainnya yang pada
tahun 2014 diperkirakan akan mencapai ketinggian 270 meter dan menutupi daerah
seluas 1.35 km2. Erosi limbah batuantelah mencemari perairan di
gunung dan gundukan limbah batuan yang tidak stabil telah menyebakan sejumlah
kecelakaan.
Tailing
Ada dua hal yang membuat tailing Freeport sangat
berbahaya. Pertama, karena jumlahnya yang sangat massif dan dibuang
begitu saja ke lingkungan. Kedua, kandungan bahan beracun dan berbahaya
yang terdapat dalam tailing. Freeport mengklaim bahwa tailingnya tidak beracun
karena hanya menggunakan proses pemisahan logam emas dan tembaga secara fisik.
Freeport menyebutnya sebagai proses pengapungan (floatasi), tanpa
menggunakan sianida dan merkuri. Hal yang sama juga dipakai oleh Newmont untuk
tambang emasnya di Batu Hijau Sumbawa, NTB. Faktanya, laporan Freeport
menyebutkan mereka menggunakan sejumlah bahan kimia dalam proses pemisahan
logam yang bahkan resiko peracunannya tidak banyak diketahui, bahkan oleh
Freeport sendiri. Disamping itu, didalam tailing Freeport masih terdapat
kandungan tembaga yang masih tinggi dan sangat beracun bagi kehidupan aquatic.
Uji tingkat racun (toxicity) dan potensi peresapan biologis (bioavailability)
oleh Freeport di daerah yang terkena dampak operasi tambang membuktikan bahwa
sebagian besar tembaga terlarut dalam air sungai terserap oleh tubuh makhluk
hidup dan ditemukan kandungannya pada tingkat beracun. Tembaga terlarut pada
kisaran konsentrasi yang ditemukan di sungai Ajkwa bagian bawah mencapai
tingkat racun kronis bagi 30% hingga 75% organism air tawar. Tak hanya
berbahaya karena kandungan logam beratnya, jumlah tailing Freeport yang sangat
masif juga memiliki bahaya yang sama. Hingga tahun 2005 tidak kurang dari 1
milyar ton tailing beracun dibuang Freeport ke sungai Aghawagon-Otomona-Ajkwa.
Padahal cara pembuangan tailing kesungai atau riverine tailing disposal seperti
ini telah dilarang disebagian besar negara di dunia, termasuk Indonesia.
Air
Asam Tambang (Acid Mine Drainage)
Batuan tambang Freeport mengandung logam sulfide (metal
sulfides). Dimana ketika digali, dihancurkan dan terkena udara dan air akan
menjadi tidak stabil sehingga menghasilkan masalah lingkungan serius. Masalah
ini dikenal sebagai air asam tambang (Acid Mine Drainage). Yang
berbahaya karena memiliki tingkat keasaman sangat tinggi (pH rendah). Limbah
batuan tambang Grasberg yang terakumulasi berpotensi membentuk asam. Limbah
batuan ini dibuang ke lingkungan sekitar Grasberg dan menghasilkan AMD dengan
tingkat keasaman tinggi hingga rata-rata pH=3. Kandungan tembaga pada batuan
rata-rata 4.500 gram per ton dan eksperimen menunjukkan bahwa sekitar 80%
tembaga ini akan tebuang (leach) dalam beberapa tahun. Bukti menunjukkan
pencemaran AMD dengan tingkat kandungan tembaga sekitar 800 miligram per liter
telah meresap ke air tanah di pegunungan. Resiko pencemaran AMD juga terjadi di
dataran rendah di daerah penumpukan tailing. Hal ini terjadi karena Freeport
menetapkan rasio yang sangat rendah dalam penetralan asam (kapur) dibanding
potensi maksimum keasaman hanya (1.3 : 1), bahkan lebih rendah dibanding
praktek terbaik industri tambang yang ada. Partikel sulfida yang menghasilkan
asam cenderung mengendap terpisah dari partikel kapur yang lebih ringan yang
bertugas menetralisir asam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar